Blog Archives

Serenade Barakah #14

Sebuah hadits yang menyentuh dan tetiba pandangan ini buram saat membacanya.

“Allah ‘Azza wa Jalla berfirman: Aku membagi shalat menjadi dua bagian antara Aku dan hamba-Ku. Dan bagian hamba-Ku, apa yang dia minta. Kalau seorang hamba mengucapkan, “Alhamdulillaahi Rabbil’alaamiin,” maka Allah Ta’ala menjawab: Hamba-Ku memuji-Ku. Jika sang hamba mengucapkan, “Ar-Rahmaanir Rahiiim,” maka Allah menjawab: Hamba-Ku menyanjung-Ku. Jika sang hamba mengucapkan, “Maaliki yaumid diin,”, maka Allah menjawab: Hamba-Ku mengagungkan-Ku. Ketika sang hamba mengucapkan, “Iyyaakana’budu wa iyyaaka nasta’iin,” Allah menjawab: Inilah antara Aku dan hamba-Ku, dan bagi hamba-Ku apa yang ia minta. Ketika sang hamba mengucapkan, “ihdinash shiraathal mustaqiim, shiraathaladziina an’amta ‘alaihim ghairil maghdhuubi’alaihim wa ladhdhaalliin,” maka Allah menjawab: Inilah untuk hamba-Ku. Dan bagi hamba-Ku, apa yang ia minta.” (HR Muslim, Mukhtasar Shahih [85:281])

Hadits di atas menunjukkan sebuah dialog antara kita dengan Allah saat kita shalat. Dialog yang mungkin tak pernah kita sadari. Begitu Maha Dekatnya Allah, merespon sesuatu yang terucap lirih bahkan gemersik hati sekalipun. Sebuah komunikasi yang terjalin antara Rabb dan hamba-Nya. Begitu mesra dan luar biasa.

Begitu pula dalam sebuah proses menuju dan setelah pernikahan. Komunikasi akan menjadi urat nadi dalam setiap jejak episode kehidupan. Menjalin komunikasi yang sehat itu adalah harga mati dalam sebuah hubungan yang akan dijalin ataupun sudah dan sedang dijalin. Tanpanya akan banyak prasangka yang membahayakan.

Kelak, bukan dia dan aku, tapi kita. Kita itu artinya menyatukan dua aku yang berbeda. Perbedaan yang sangat jauh, mungkin sejauh Mars dan Venus. Begitulah John Gray Ph.D mengibaratkan. Sebeda dua makhluk dua planet yang jauh berbeda.